Laporan Pendahuluan Ulkus Diabetik

LAPORAN PENDAHULUAN
ULKUS DIABETIK

I.  Konsep Penyakit
1.1. Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein (Askandar, 2000). Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan absolut insulin atau insensitifitas sel terhadap insulin (Corwin, 2001: 543).

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lender dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer, (Andyagreeni, 2010).

Ulkus Diabetik merupakan komplikasi kronik dari Diabetes Melllitus sebagai sebab utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita Diabetes. Kadar LDL yang tinggi memainkan peranan penting untukterjadinya Ulkus Uiabetik untuk terjadinya Ulkus Diabetik melalui pembentukan plak atherosklerosis pada dinding pembuluh darah, (zaidah 2005).

Klasifikasi Diabetes yang utama menurut Smeltzer dan Bare (2001), adalah sebagai berikut :
1.      Tipe 1 Diabetes Mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
2.      Tipe II Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus).
3.      Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan sindrom lainnya.
4.      Diabetes Mellitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus)

1.2. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1224), penyebab dari diabetes mellitus adalah:
1. Diabetes Tipe I
a.       Faktor genetik.
b.      Faktor imunologi.
c.       Faktor lingkunngan.

2. Diabetes Tipe II
a.       Usia.
b.      Obesitas.
c.       Riwayat keluarga.
d.      Kelompok genetik.

Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi menjadi faktor endogen dan ekstrogen.
1. Faktor endogen
a.       Genetik, metabolik.
b.      Angiopati diabetik.
c.       Neuropati diabetik.

2. Faktor ekstrogen
a.       Trauma.
b.      Infeksi.
c.       Obat.

Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus Diabetikum adalah angipati, neuropati dan infeksi.adanya neuropati perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh (Levin, 1993) infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai Ulkus Diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati,  sehingga faktor angipati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan Ulkus Diabetikum.(Askandar 2001).

1.3. Manifestasi
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu :
1.      Pain (nyeri).
2.      Paleness (kepucatan)
3.      Paresthesia (kesemutan).
4.      Pulselessness (denyut nadi hilang)
5.      Paralysis (lumpuh).





1.4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1223), patofisiologi dari diabetes mellitus adalah :
1.      Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria). Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.

2. Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria. polidipsia, luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur ( jika kadar glukosanya sangat tinggi).

Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi.

Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistem imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya, (Anonim 2009).

1.5. Pemeriksaan Penunjang
      Menurut Arora (2007: 15), pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi 4 hal yaitu:
1. Postprandial
Dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka diatas 130 mg/dl mengindikasikan diabetes.
2. Hemoglobin glikosilat: Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk menilai kadar gula darah selama 140 hari terakhir. Angka Hb1C yang melebihi 6,1% menunjukkan diabetes.
3. Tes toleransi glukosa oral.
     Setelah berpuasa semalaman kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula, dan akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam setelah meminum cairan tersebut harus < dari 140 mg/dl.
4. Tes glukosa darah dengan finger stick, yaitu jari ditusuk dengan sebuah jarum, sample darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan kedalam celah pada mesin glukometer, pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau kadar glukosa yang dapat dilakukan dirumah.
5. Urine.
     Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau  ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ )
6. Kultur pus.
     Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.

1.6. Komplikasi
Menurut Subekti (2002: 161), komplikasi akut dari diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
1. Hipoglikemia
     Hipoglikemia adalah keadaan kronik gangguan syaraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obat hiperglikemik oral golongan sulfonilurea.

2. Hiperglikemia
     Secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stress akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat. Ulkus Diabetik jika dibiarkan akan menjadi gangren, kalus, kulit melepuh, kuku kaki yang tumbuh kedalam, pembengkakan ibu jari, pembengkakan ibu jari kaki, plantar warts, jari kaki bengkok, kulit kaki kering dan pecah, kaki atlet, (Dr. Nabil RA).

1.7. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Soegondo (2006: 14), penatalaksanaan Medis pada pasien dengan Diabetes Mellitus meliputi:
a. Obat hiperglikemik oral (OHO).
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan:
1)      Pemicu sekresi insulin.
2)      Penambah sensitivitas terhadap insulin.
3)      Penghambat glukoneogenesis.
4)      Penghambat glukosidase alfa.
b. Insulin
           Insulin diperlukan pada keadaan:
1)      Penurunan berat badan yang cepat.
2)      Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
3)      Ketoasidosis diabetik.
4)      Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

2. Keperawatanan
Usaha perawatan dan pengobatan yang ditujukan terhadap ulkus antara lain dengan antibiotika atau kemoterapi. Perawatan luka dengan mengompreskan ulkus dengan larutan klorida atau larutan antiseptic ringan. Misalnya rivanol dan larutan kalium permanganate 1 : 500 mg dan penutupan ulkus dengan kassa steril. Alat-alat ortopedi yang secara mekanik yang dapat merata tekanan tubuh terhadap kaki yang luka amputasi mungkin diperlukan untuk kasus DM. Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1226), tujuan utama penatalaksanaan terapi pada Diabetes Mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Ada beberapa komponen dalam penatalaksanaan Ulkus Diabetik:
a.    Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar untuk memberikan semua unsur makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah kadar glukosa darah yang tinggi dan menurunkan kadar lemak.

b.   Latihan
Dengan latihan ini misalnya dengan berolahraga yang teratur akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian kadar insulin.
c.    Pemantauan
Dengan melakukan pemantaunan kadar glukosa darah secara mandiri diharapkan pada penderita diabetes dapat mengatur terapinya secara optimal.
d.   Terapi (jika diperlukan)
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari.
e.    Pendidikan
Tujuan dari pendidikan ini adalah supaya pasien dapat mempelajari keterampilan dalam melakukan penatalaksanaan diabetes yang mandiri dan mampu menghindari komplikasi dari diabetes itu sendiri.
f.    Kontrol nutrisi dan metabolik
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh dalam proses penyembuhan. Perlu memonitor Hb diatas 12 gram/dl dan pertahankan albumin diatas 3,5 gram/dl. Diet pada penderita DM dengan selulitis atau gangren diperlukan protein tinggi yaitu dengan komposisi protein 20%, lemak 20% dan karbohidrat 60%. Infeksi atau inflamasi dapat mengakibatkan fluktuasi kadar gula darah yang besar. Pembedahan dan pemberian antibiotika pada abses atau infeksi dapat membantu mengontrol gula darah. Sebaliknya penderita dengan hiperglikemia yang tinggi, kemampuan melawan infeksi turun sehingga kontrol gula darah yang baik harus diupayakan sebagai perawatan pasien secara total.
g.   Stres Mekanik
Perlu meminimalkan beban berat (weight bearing) pada ulkus. Modifikasi weight bearing meliputi bedrest, memakai crutch, kursi roda, sepatu yang tertutup dan sepatu khusus. Semua pasien yang istirahat ditempat tidur, tumit dan mata kaki harus dilindungi serta kedua tungkai harus diinspeksi tiap hari. Hal ini diperlukan karena kaki pasien sudah tidak peka lagi terhadap rasa nyeri, sehingga akan terjadi trauma berulang ditempat yang sama menyebabkan bakteri masuk pada tempat luka.
h.   Tindakan Bedah
Berdasarkan berat ringannya penyakit menurut Wagner maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut:
1) Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada.
2) Derajat I - V : pengelolaan medik dan bedah minor.


1.8 Pathway
Materi Pemberian Insulin
1.9.1 Pendahuluan
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit progresif dengan karakteristik penurunan fungsi sel beta pankreas. Seiring meningkatnya angka kejadian DMT2, terutama pada orang berusia relatif muda dan kemungkinan usia hidup masih panjang, maka semakin banyak pasien DMT2 dengan defisiensi insulin.
Pada kasus-kasus tersebut, akan dibutuhkan insulin dalam penatalaksanaannya.
Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan obat antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes melitus adalah insulin terdapat di dalam tubuh secara alamiah. Selain itu, pengobatan dengan insulin dapat diberikan sesuai dengan pola sekresi insulin endogen. Sementara itu, kendala utama dalam penggunaan insulin adalah pemakaiannya dengan cara menyuntik dan harganya yang relatif mahal. Namun demikian, para ahli dan peneliti terus mengusahakan penemuan sediaan insulin dalam bentuk bukan suntikan, seperti inhalan sampai bentuk oral agar penggunaannya dapat lebih sederhana dan menyenangkan bagi para pasien.



1.9.2 Manfaat terapi Insulin Pada Klien Hiperglikemi
Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Infus insulin (glucose-insulin-potassium [GIK]) terbukti dapat memperbaiki luaran pada pasien gawat darurat yang dirawat di ruang intensif akibat kelainan jantung atau stroke. Terapi insulin intensif pada pasien gawat darurat yang dirawat di ruang intensif terbukti dapat menurunkan angka kematian. Hal tersebut terutama disebabkan oleh penurunan angka kejadian kegagalan organ multipel akibat sepsis.
Selain itu, penggunaan infus insulin juga dapat menurunkan mortalitas di rumah sakit secara keseluruhan, sepsis, gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisi, atau hemofiltrasi, jumlah transfusi darah sel darah merah, polineuropati, dan penurunan penggunaan ventilasi mekanis yang berkepanjangan serta lama perawatan di ruang intensif. Penggunaan infus insulin-glukosa secara intensif pada pasien infark miokard akut juga memperbaiki angka kematian jangka panjang. Hal serupa ditemukan pada pasien stroke. Pasien stroke dengan hiperglikemia ringan sampai sedang yang mendapatkan infus insulin (GIK) memiliki angka kematian yang lebih kecil dibandingkan pasien tanpa pemberian infus insulin GIK.
Sementara itu, perbaikan luaran klinis pada pasien mungkin disebabkan oleh efek insulin terhadap perbaikan stres oksidatif dan pelepasan berbagai molekul proinflamasi yang dikeluarkan saat terjadi hiperglikemia akut.

1.9.3        Terapi insulin untuk Pasien Diabetes Melitus Rawat Jalan
1.      Indikasi terapi insulin untuk pasien diabetes melitus rawat jalan.
Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas. Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis.
2.      Cara dan alur pemberian insulin
Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan.
Jenis insulin kerja panjang yang tersedia di Indonesia saat ini adala insulin NPH, insulin detemir dan insulin glargine. Idealnya, sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Berbagai macam rejimen terapi insulin yang diberikan dengan suntikan multipel. Rejimen injeksi harian multipel ini diterapkan untuk penderita dengan DMT1. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, namun prinsip dasarnya adalah sama, yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis.

3.      Cara Pemberian Insulin
Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit dan jarum, pen insulin, atau pompa insulin (CSII). Sampai saat ini, penggunaan CSII di Indonesia masih sangat terbatas.
Pemakaian semprit dan jarum cukup fleksibel serta memungkinkan kita untuk mengatur dosis dan membuat berbagai formula campuran insulin untuk mengurangi jumlah injeksi per hari. Keterbatasannya adalah memerlukan penglihatan yang baik dan ketrampilan yang cukup untuk menarik dosis insulin yang tepat. Pen insulin kini lebih popular dibandingkan semprit dan jarum. Cara penggunaannya lebih mudah dan nyaman, serta dapat dibawa kemana-mana. Kelemahannya adalah kita tidak dapat mencampur dua jenis insulin menjadi berbagai kombinasi, kecuali yang sudah tersedia dalam sediaan tetap (insulin premixed).

II. Rencana asuhan klien dengan gangguan Ulkus Diabetik
2.1 Pengkajian
2.1.1        Riwayat Kesehatan
1.   Riwayat kesehatan sekarang.
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
3.   Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
4.   Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.

2.1.2. Pemeriksaan Fisik, data Fokus
1.Status kesehatan umum.
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda –tanda vital.
2.    Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur/ganda, diplopia, lensa mata keruh.
3.    Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
4.    Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
5.    Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
6.    Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
7.    Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
8.    Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
9.    Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.

2.1.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a.    Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b.   Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).

c.    Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.
2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Kerusakan Integritas Jaringan
2.2.1 Definisi
Kerusakan Jaringan membrane mukosa, kornea, integument, atau subkutan
2.2.2 Batasan karakteristik
                  Kerusakan atau kehancuran jaringan
2.2.3 Faktor yang berhubungan
a)       Perubahan sirkulasi
b)       Iritan kimia
c)       Kekurangan atau kelebihan cairan
d)       Hambatan mobilitas fisik
e)       Deficit pengetahuan
f)        Factor mekanis
g)       Kekurangan atau kelebihan nitrisi
h)       Radiasi
i)         Faktor suhu

Diagnosa 2 : Nyeri akut
2.2.4 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (international Association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan

2.2.5 Batasan karakteristik
Subjektif: Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat
Objektif:
a)          Posisi untuk mengindari nyeri
b)          Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak bertenaga
c)          Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
d)          Perubaan selera makan
e)          Perilaku distraksi missal, mondar-mandir, mencari orang atau aktifitas lain, aktivitas berulang
f)           Perilaku ekspresif missal; gelisah, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan menghela napas panjang
g)          Wajah topeng; nyeri
h)          Perilaku menjaga atau sikap melindungi
i)            Fokus menyempit, missal; gangguan persepsi waktu, gangguan proses piker, interaksi menurun.
j)           Bukti nyeri yang dapat diamati
k)          Berfokus pada diri sendiri
l)            Gangguan tidur, missal; mata terlihat layu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu dan tidak menyeringai

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 :
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
NOC:
a)       Respon alergi: setempat; keparahan respon imun hipersensitif setempat terhadap antigen lingkungan tertentu
b)       Perawatan diri: ostomi; tindakan pribadi untuk mempertahankan ostomi untuk eliminasi
c)       Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane mukosa
d)       Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan setelah penutupan yang disengaja
e)       Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan pada luka terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
a)       Lihat juga pada “tujuan dan criteria evaluasi pada kerusakan integritas kulit”.
b)       Menunjukan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut;

1)      gangguan eksterm
2)      berat
3)      sedang
4)      ringan
5)      tidak ada gangguan
Indikator
1
2
3
4
5
Keutuhan kulit
Tekstur dan ketebalan jaringan
Perfusi jaringan

Pasien akan:
a)          tidak ada tanda dan gejala infeksi
b)          tidak ada lesi
c)          tidak terjadi nekrosis
2.3.2 Intervensi Keperwatan dan rasional
Intervensi NIC
a)       perawatan area insisi; membersihkan, memantau dan meningkatkan penembuhan luka ang tertutup dengan jahitan
b)       perlindungan infeksi; mencegah dan mendeteksi dini pada pasien berisiko
c)       pemeliharaan kesehatan mulut; memelihara dan meningkatkan hygiene oral dan kesehatan gigi pada pasien yang berisiko mengalami lesi mulut atau gigi
d)       perawatan ostomi; memelihara eliminasi melalui stoma dan jaringan sekitar stoma
e)       pencegahan ulkus dekubitus; mencegah ulkus dekubitus pada individu yang berisiko mengalami ulkus dekubitus
f)        perawatan kulit: terapi topical; mengoleskan zat topical atau manipulasi alat untuk meningkatkan integritas kulit dan meminimalkan kerusakan kulit
g)       perawatan luka; mencegah komplikasi luka dan meningkatkan penyembuhan luka

Diagnosa 2 :
2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
NOC:
a)       Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik psikologis
b)       Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk mengendaikan nyeri
c)       Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
Tujuan/criteria hasil
-          Memperlihatkan pengendaian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:
a)      tidak pernah
b)      jarang
c)      kadang-kadang
d)     sering
e)      selalu

Indikator
1
2
3
4
5
Mengenali awitan nyeri
Menggunakan tindakan pencegahan
Melaporkan nyeri dapat dikendaikan
Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:
1.      sangat berat
2.      berat
3.      sedang
4.      ringan
5.      tidak ada
Indicator
1
2
3
4
5
Ekspresi nyeri pada wajah
Gelisah atau ketegangan otot
Durasi episode nyeri
Merintih dan menangis
Gelisah

a)       memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
b)       mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala 0-10)
c)       melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
d)       mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi factor tersebut
e)       melaporkan nyeri kepada pelayan kesehatan
f)        melaporkan pola tidur yang baik

2.3.4 Intervensi Keperwatan dan rasional
Intervensi NIC
-          Pengkajian
a)       Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
b)       Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
c)       Gunakan bagan alir nyeri untuk mementau peredaan nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya
d)       Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
e)       Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
f)        Manajemen nyeri:
g)       lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan factor presipitasinya
h)       Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif

Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a)       Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
b)       Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
c)       Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang ditawarkan
d)       Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau overdosis)
e)       Manajemen nyeri:
f)        Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur
g)       Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (relaksasi, distraksi, terapi)

Aktivitas kolaboratif
a)       Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal (missal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
b)       Manajemen nyeri:
c)       Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
d)       Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien dimasa lalu

Perawatan dirumah
a)       Intervensi di atas dapat disesuaikan untuk perawatan dirumah
b)       Ajarkan klien dan keluarga untuk memanfaatkan teknologi yang diperlukan dalam pemberian obat

Untuk bayi dan anak-anak
a)       Waspadai bahwa sama halnya dengan orang dewasa, bayi pun sensitive terhadap nyeri, gunakan anastetik topical sebelum melakukan pungsi vena, untuk bayi baru lahir gunakan sukrosa oral
b)       Untuk mengkaji nyeri pada anak yang masih kecil, gunakan skala nyeri wajah atau skala nyeri bergambar lainnya

Untuk lansia
a)       Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitivitas terhadap efek analgesic opiate, dengan efek puncak yang lebih tinggi dan durasi peredaan nyeri yang lebih lama
b)       Perhatikan kemungkinan interaksi obat-obat dan obat penyakit pada lansia, karena lansia sering mengalami penyakit multiple dan mengonsumsi banyak obat
c)       Kenali bahwa nyeri bukan bagian dari proses norma penuaan
d)       Pertimbangkan untuk menurunkan dosis opioid dari dosis biasanya untuk lansia, karena lansia lebih sensitive terhadap opioid
e)       Hindari penggunaan meperidin (demerol) dan propoksifen (darvon) atau obat lain yang dimetabolisme diginjal
f)        Hindari penggunaan obat dengan waktu paruh yang panjang karena yang meningkatkan kemungkinan toksisitas akibat akumulasi obat
g)       Ketika mendiskusikan nyeri, pastikan pasien dapat mendengar suara saudara dan dapat melihat tulisan yang ada diskala nyeri
h)       Ketika memberikan penyuluhan mengenai medikasi, ulangi informasi sesering mungkin, tinggalkan informasi tertulis untuk pasien
i)         Kaji interaksi obat termasuk obat bebas

III. Daftar Pustaka.

Brunner dan Suddarth. (2002). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC
Doenges, M.E.et all. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. (edisi 3). Jakarta: EGC
Evelyn C. Pearce (2003). Anatomi Fisiologi; untuk paramedis , Jakarta: PT Gramedia
Syaifuddin (2005). Anatomi Fisiologi; untuk mahasiswa keperawatan (edisi 3), Jakarta: EGC

0 komentar:

Posting Komentar