LAPORAN PENDAHULUAN
HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
I.
Konsep
Penyakit HIV
1.1 Definisi/deskripsi
penyakit HIV
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency
Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel dan makrofag– komponenkomponen utama
sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi
virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang
terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem
kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan
tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam
infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami
defisiensi kekebalan.
HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili
Retroviridae subfamili Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan
RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode
inkubasi yang panjang. Satu
kali terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat permanen,
seumur hidup.
1.2 Etiologi
HIV
Acquired immune
deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) .
HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae,
subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid
(RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan
luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari
protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24.
Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim
reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA
dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung
protein.
Jumlah limfosit T
penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang
terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai
dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi.
1.3 Tanda gejala
HIV
Sindroma HIV akut
adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya meliputi demam, lemas,
nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri
persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada
kulit (makula / ruam).
Gejala dan tanda klinis
yang patut diduga infeksi HIV menurut WHO SEARO 2007 :
1. Keadaan umum :
- Kehilangan berat
badan > 10% dari berat badan dasar
- Demam (terus menerus
atau intermitten, temperatur oral > 37,5oC) yang lebih dari satu bulan
- Diare (terus menerus
atau intermitten) yang lebih dari satu bulan.
- Limfadenopati meluas
2. Kulit :
- Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering
yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kulit
genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
3. Infeksi
- Infeksi Jamur :
Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina berulang
- Infeksi viral :
Herpes zoster, - herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum, kondiloma.
- Gangguan pernafasan :
batuk lebih dari 1 bulan, sesak nafas, tuberkulosis, pneumonia berulang,
sinusitis kronis atau berulang.
- Gejala neurologis :
nyeri kepala yang makin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya),
kejang demam, menurunnya fungsi kognitif.
1.4 Patofisiologi
HIV
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya
jenis Limfosit T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk
antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus
HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus
tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA
(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel
dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera
menyebabkan kematian dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu
mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh
penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah
tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu
yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala
AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan
masa “window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan
terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.2
Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak
khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi
ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat
hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang
terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak.
Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan
hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik.
1.5 Pemeriksaan
Penunjang HIV
a.
ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang
digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent
assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat
sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa
menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya
penyakit autoimun ataupun karena infeksi.Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan
dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
b.
Western Blot
Western Blot memiliki
spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV)
antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan
waktu sekitar 24 jam. Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau
tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel
yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test
Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.1
c.
PCR (Polymerase
chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA
virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering
digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
1.6 Komplikasi
HIV
-
Kandidiasis bronkus,
trakea, atau paru-paru
-
Kandidiasis
esophagus
-
Kriptokokosis
ekstra paru
-
Kriptosporidiosis
intestinal kronis (>1 bulan)
-
Renitis CMV
(gangguan penglihatan)
-
Herpes simplek,
ulkus kronik (> 1 bulan)
-
Mycobacterium
tuberculasis di paru atau ekstra paru
-
Ensefalitis
toxoplasma.
1.7 Penatalaksanaan
HIV
Menurut Putra, S (2015), Apabila
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV), maka pengendaliannya yaitu :
a.
Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis.Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi
pasien dilingkungan perawatan kritis.
b.
Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase.AZT tersedia untuk
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3. Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
c.
Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :
Didanosine
Ribavirin
Diedoxycytidine
Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan
Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.
e. Pendidikan
untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari
stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
f. Menghindari
infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
reflikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
1.1 Pathway
HIV
II.
Rencana asuhan klien
dengan HIV
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat
keperawatan
1. Riwayat Kesehatan Dahulu
:
Pasien
memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang positif
mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual multiple, aktivitas seksual yang tidak
terlindung, seks anal, homoseksual, penggunaan kondom yang tidak konsisten, menggunakan
pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan terhadap virus pada wanita yang
terpajan karena peningkatan kekeringan/friabilitas vagina), pemakai
obat-obatan IV dengan jarum suntik yang bergantian, riwayat menjalani transfusi
darah berulang, dan mengidap penyakit defesiensi imun.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Pasien
mengatakan mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya,
sulit tidur, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa bersalah,
kehilangan kontrol diri, depresi, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi,
diare intermitten, terus-menerus yang disertai/tanpa kram abdominal, tidak
nafsu makan, mual/muntah, rasa sakit/tidak nyaman pada bagian oral, nyeri
retrosternal saat menelan, pusing, sakit kepala, tidak mampu mengingat sesuatu,
konsentrasi menurun, tidak merasakan perubahan posisi/getaran, kekuatan otot
menurun, ketajaman penglihatan menurun, kesemutan pada ekstremitas, nyeri,
sakit, dan rasa terbakar pada kaki, nyeri dada pleuritis, nafas pendek, sering
batuk berulang, sering demam berulang, berkeringat malam, takut mengungkapkan
pada orang lain dan takut ditolak lingkungan, merasa kesepian/isolasi,
menurunnya libido dan terlalu sakit untuk melakukan hubungan seksual.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Riwayat
HIV/AIDS pada keluarga, kehamilan keluarga dengan HIV/AIDS, keluarga pengguna
obat-obatan terlarang(Putra, R, 2015).
2.1.2 Pemeriksaan
fisik: data fokus
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS ((Huriyyah, 2013)
adalah
1.
Aktivitas / istirahat.
Mudah
lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
2.
Sirkulasi.
Takikardia
, perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
3.
Integritas ego.
Alopesia
, lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah, menangis.
4.
Elimiinasi.
Feses
encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses rektal.
5.
Makanan / cairan.
Disfagia,
bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi / gusi
yang buruk, dan edema.
6.
Neurosensori.
Pusing,
kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon melambat.
7.
Nyeri / kenyamanan.
Sakit
kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang gerak,
dan gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.
8.
Pernafasan.
Batuk,
Produktif/non produktif, takipnea, distres pernafasan.
Pengkajian
fisik IPPA:
1. Inspeksi
(Pengkajian
dada dan paru-paru) Postur, bentuk, kesimetrisan ekspansi, keadaan kulit.
(Pengkajian abdomen) mengetahui bentuk dan gerakan-gerakan abdomen, kontur
permukaan abdomen, adanya retraksi, penonjolan serta ketidaksimetrisan.
2. Palapasi
(Pengkajian
dada dan paru-paru) Keadaan kulit dinding dada, nyeri tekan, masa, peradangan,
vibrasi yang dapat teraba. (Pengkajian abdomen) bentuk, ukuran, dan struktur di
dalam abdomen.
3. Perkusi
(Pengkajian
dada dan paru-paru) Bunyi perkusi paru.(Pengkajian abdomen) mendengarkan atau
mendeteksi adanya gas, cairan, atau masa di dalam abdomen.
4. Auskultasi
(Pengkajian
dada dan paru-paru) Mengkaji kondisi paru-paru dan rongga pluera menggunakan
stetoskop. (Pengkajian abdomen) mendengar dua suara abdomen yaitu bising usus.
2.1.3 Pemeriksaan
penunjang
Menurut Putra, S
(2015), Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV ,
yaitu :
a.
ELISA
b.
Western blot
c.
P24 antigen test
d.
Kultur HIV
Tes untuk mendeteksi gangguan sistem imun, yaitu :
a. Hematokrit
b. LED
c. Rasio
CD4 / CD Limposit
d. Serum
mikroglobulin B2
e. Hemoglobin
2.2 Diagnosa
Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(00002)
2.2.1 Definisi
Asupan nutrisi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
2.2.2 Batasan
karakteristik
·
Berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan
ideal
·
Bising usus hiperaktif
·
Cepat kenyang setelah makan
·
Diare
·
Gangguan sensasi rasa
·
Kehilangan rambut berlebihan
·
Kelemahan otot pengunyah
2.2.3 Faktor
yang berhubungan
·
Faktor biologis
·
Faktor ekonomi
·
Gangguan psikososial
·
Ketidakmampuan makan
·
Ketidakmampuan mencerna makanan
·
Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
·
Kurang asupan makanan
Diagnosa 2: ketidakefektifan
bersihan jalan nafas (00031)
2.2.4 Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekresi/obstruksi dari
saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas.
2.2.5 Batasan
karakteristik
·
Batuk yang tidak efektif
·
Dispnea
·
Gelisah
·
Kesulitan verbalisasi
·
Mata terbuka lebar
·
Ortopnea
·
Penurunan bunyi napas
·
Perubahan frekuensi napas
·
Perubahan pola napas
·
Sianosis
·
Sputum dalam jumlah yang berlebihan
·
Suara napas tambahan
·
Tidak ada batuk
2.2.6 Faktor
yang berhubungan
Lingkungan
·
Perokok
·
Perokok pasif
·
Terpajan asap
Obstruksi jalan
napas
·
Eksudat dalam aveoli
·
Mucus berlebihan
·
Penyakit paru obstruktif
·
Sekresi yang tertahan
·
Spasme jalan napas
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2.3.1
Tujuan dan
Kriteria hasil (outcomes criteria)
·
Pasien memiliki keinginan untuk makan ketika dalam
keadaan sakit atau sedang menjalani pengobatan
·
Pasien dapat mempertahankan berat badannya dalam batas
normal
·
Pasien akan melaporkan tingkat energy yang adekuat
2.3.2
Intervensi
keperawatan dan rasional
·
Timbang dan catat berat badan pasien pada jam yang
sama setiap hari
R : mengetahui penurunan berat badan yang dialami
pasien.
·
Pantau asupan dan haluaran pasien
R : Berat badan dapat meningkat sebagai akibat dari
retensi cairan.
·
Kaji dan catat bising usus pasien satu kali setiap
pergantian tugas jaga.
R : Memantau tingkat penurunan dan peningkatan
peristaltic usus pasien.
·
Pantau nilai laboratorium pasien.
·
Lakukan manajemen nutrisi dengan cara :
-
Ketahui makanan kesukaan pasien
-
Tetukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
-
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada asupan
-
Timbang pasien pada interval yang tepat
Diagnosa 2: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2.3.3 Tujuan
dan Kriteria hasil (outcomes criteria)
· Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
· Menunjukkan
jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
· Tanda
Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
2.3.4 Intervensi
keperawatan dan rasional
Airway
Management
-
Buka jalan
nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
-
Posisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi
-
Identifikasi
pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
-
Pasang mayo bila
perlu
-
Lakukan
fisioterapi dada jika perlu
-
Keluarkan sekret
dengan batuk atau suction
-
Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan
-
Lakukan suction
pada mayo
-
Berikan
bronkodilator bila perlu
-
Berikan pelembab
udara Kassa basah NaCl Lembab
-
Atur intake
untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
-
Monitor
respirasi dan status O2
Terapi
Oksigen
-
Bersihkan mulut,
hidung dan secret trakea
-
Pertahankan
jalan nafas yang paten
-
Atur peralatan
oksigenasi
-
Monitor aliran
oksigen
-
Pertahankan
posisi pasien
-
Onservasi adanya
tanda tanda hipoventilasi
-
Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital
sign Monitoring
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
-
Catat adanya
fluktuasi tekanan darah
-
Monitor VS saat
pasien berbaring, duduk, atau berdiri
-
Auskultasi TD
pada kedua lengan dan bandingkan
-
Monitor TD, nadi,
RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
-
Monitor kualitas
dari nadi
-
Monitor
frekuensi dan irama pernapasan
-
Monitor suara
paru
-
Monitor pola
pernapasan abnormal
-
Monitor suhu,
warna, dan kelembaban kulit
-
Monitor sianosis
perifer
-
Monitor adanya
cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
-
Identifikasi
penyebab dari perubahan vital sign
III. Daftar Pustaka
Herdman,
T.Heather. 2016. Diagnosis keperawatan:
Definisi & Klasifikasi Ed.10. Jakarta : EGC.
Nurarif
A, dan Kusuma H. (2013). Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & Nanda NIC NOC, Edisi Revisi jilid
1 & 2.
Wilkinson, dkk. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9.
Jakarta: EGC
0 komentar:
Posting Komentar